Minggu, 10 Juli 2016

Indahnya Arti Bacaan Shalat, Mari Tinggalkan Dunia Sejenak.


Assalamualaikum Wr. Wb

naG)(Palu. Mari kita meninggalkan duniawi sejenak.
Selamat malam sahabat semua. Malam ini aku menangis. :'( Bukan karena masalah yang menimpaku di dunia ini namun karena hinanya aku di hadapan Allah SWT. Bodohnya aku hingga aku melupakan makna dan arti dalam tiap - tiap bacaan shalat. Sekarang aku mengerti kenapa aku tak pernah mersakan kekhusyukan dalam shalat. Jawabannya adalah karena aku tak bisa menjiwai arti dalam setiap bacaan shalat yang aku ucapkan. Kata demi kata yang terucap tak aku mengerti. Aku menyesal sekali. Alhamdulillah akhirnya kini aku bisa merasakan bagaimana indahnya shalat yang khusyuk itu dengan mempelajari PER KALIMAT dari masing-masing doa yang aku ucapkan. Mungkin aku belum sempurna namun semoga bisa.

Jadi sekarang siapa dari kalian yang ingin menangis setiap kali membaca doa-doa dalam shalat? Siapa yang dari kalian ingin mersakan shalat khusyuk itu? :) Untuk itu, aku akan berbagi sedikit ilmu yang aku dapat tentang arti bacaan shalat agar kita bisa lebih menjiwai tiap kalimat yang kita ucapkan. Tak hanya sekedar terucap namun juga tersirat dalam hati karena kita mengerti dan paham dengan artinya.

Jika kalian ingin tahu, sebenarnya semua hal yang kita inginkan dan sering kita ucapkan seusai shalat sudah tercantum dan sudah kita ucapkan ketika kita shalat. Hanya saja kita yang tak pernah mengetahui akan arti masing-masing doa yang kita ucap.

Seharusnya kita tak hanya menghafal doanya saja namun juga artinya.
Do'a Iftitah :
Salah satu do’a iftitah adalah : “Allaahu akbar kabiiraa walhamdu lillaahi katsiiraa wasubhaanallaahi bukrataw wa ashiilaa. Innii wajjahtu wajhiya lilladzii fatharassamaawaati wal ardha haniifam muslimaw wa maa ana minal musyrikiin. Inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil’aalamiin. Laa syariikalahu wa bi dzaalika umirtu wa ana minal muslimiin.”

Do'a Iftitah Serta Arti/tejemahan secara keseluruhan do'a :
“Allah Maha Besar lagi Sempurna Kebesaran-Nya, segala puji bagi-Nya dan Maha Suci Allah sepanjang pagi dan sore. Kuhadapkan muka hatiku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan keadaan lurus dan memberi keselamatan dan aku bukanlah dari golongan kaum musyrikin. Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku semata hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan dengan itu aku diperintahkan untuk tidak menyekutukan-Nya. Dan aku dari golongan orang muslimin.”

Do'a Iftitah Serta Arti/tejemahan secara perkata/kalimat :
Allaahu akbar kabiiraa......(Allah Maha Besar lagi Sempurna Kebesaran-Nya)
walhamdu lillaahi katsiiraa......(segala puji bagi-Nya)
wasubhaanallaahi......(dan Maha Suci Allah)
bukrataw wa ashiilaa......(sepanjang pagi dan sore)
Innii wajjahtu......(Kuhadapkan muka)
wajhiya......(hatiku)
lilladzii......(kepada Dzat)
fatharassamaawaati......(yang menciptakan langit)
wal ardha......(dan bumi)
haniifam......(dengan keadaan lurus)
muslimaw......(dan memberi keselamatan)
wa maa ana minal musyrikiin......(dan aku bukanlah dari golongan kaum musyrikin)
Inna shalaatii......(Sesungguhnya shalatku)
wa nusukii......(ibadatku)
wa mahyaaya......(hidupku)
wa mamaatii......(dan matiku)
lillaahi rabbil’aalamiin......(semata hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam)
Laa syariikalahu......(Tidak ada sekutu bagi-Nya)
wa bi dzaalika umirtu......(dan dengan itu aku diperintahkan untuk tidak menyekutukan-Nya)
wa ana minal muslimiin......(Dan aku dari golongan orang muslimin)

Do'a Rukuk:
“Subhaana Rabbiyal ‘Adhiimii wa bi hamdih”

Do'a Rukuk Serta Arti/tejemahan secara keseluruhan do'a :
“Maha Suci Rabb-ku Yang Maha Agung dan dengan puji-Nya”.

Do'a Rukuk Serta Arti/tejemahan secara perkata/kalimat :
Subhaana Rabbiyal......(Maha Suci Rabb-ku)
‘Adhiimii......(Yang Maha Agung)
wa bi hamdih......(dan dengan puji-Nya)

Do'a I'tidal :
“Sami’allahu liman hamidah Rabbanaa lakal hamdu mil ‘us samaawaati wa mil ul ardhi wa mil ‘u maa syi’ta min syai’in ba’du”

Do'a I'tidal Serta Arti/tejemahan secara keseluruhan do'a :
“Allah sungguh mendengar para pemuji-Nya, Ya Allah Tuhan kami ! Bagi-Mu segala puji, sepenuh langit dan bumi dan sepenuh barang yang Kau kehendaki sesudah itu”

Do'a I'tidal Serta Arti/tejemahan secara perkata/kalimat :
Sami’allahu liman hamidah......(Allah sungguh mendengar para pemuji-Nya)
Rabbanaa lakal hamdu......(Ya Allah Tuhan kami ! Bagi-Mu segala puji)
mil ‘us samaawaati......(sepenuh langit)
wa mil ul ardhi......(dan bumi)
wa mil ‘u maa syi’ta......(dan sepenuh barang yang Kau kehendaki)
min syai’in ba’du......(sesudah itu)

Do'a Sujud :
“Subhana rabbiyal a’la wa bihamdih”

Do'a Sujud Serta Arti/tejemahan secara keseluruhan do'a :
“Maha Suci Rabb-ku Yang Maha Luhur dan dengan puji-Nya”

Do'a Sujud Serta Arti/tejemahan secara perkata/kalimat :
Subhana rabbiyal......(Maha Suci Rabb-ku)
a’la......(Yang Maha Luhur)
wa bihamdih......(dan dengan puji-Nya)

Do'a Diantara Dua Sujud :
“Robighfirlii, warhamnii, wajburnii, warfa’nii, warzuqnii, wahdinii, wa’aafinii, wa’fu ‘annii”

Do'a Diantara Dua Sujud Serta Arti/tejemahan secara keseluruhan do'a :
“Ya Allah, Ampunilah aku, Belas kasihanilah aku, Cukupkanlah segala kekuranganku, Angkatlah derajatku, Berilah rezeki kepadaku, Berilah petunjuk kepadaku, Berilah kesehatan kepadaku, dan berilah ampunan kepadaku”

Do'a Diantara Dua Sujud Serta Arti/tejemahan secara perkata/kalimat :
Robighfirlii ……… ( Ya Allah, Ampunilah aku…)
warhamnii……… ( Belas kasihanilah aku … )
wajburnii ……… ( Cukupkanlah segala kekuranganku …)
warfa’nii………( Angkatlah derajatku … )
warzuqnii ……… ( Berilah rezeki kepadaku … )
wahdinii…………( Berilah petunjuk kepadaku … )
wa’aafinii ……… ( Berilah kesehatan kepadaku … )
wa’fu ‘annii………( dan berilah ampunan kepadaku … )

Do'a Tahiyat :
“At tahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatuth thayyibaatulillaah, Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullaahi wabarakaatuh, Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shaalihiina, Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullaah, Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad Wa ‘alaa aali  Muhammad, Kamaa shallaita ‘alaa Ibraahiim wa ‘alaa aali Ibraahim, Wa baarik ‘alaa Muhammad wa’alaa aali Muhammad, Kamaa baarakta ‘alaa Ibraahiim wa ‘alaa aali Ibraahiim, Fil ‘aaalamiina innaka hamiidum majiid”

Do'a Tahiyat Serta Arti/tejemahan secara keseluruhan do'a :
“Segala kehormatan, keberkahan, kebahagiaan, dan kebaikan bagi Allah, Segala keselamatan tetap untuk engkau, hani Nabi, dan demikian juga rahmat Allah dan berkahNya, Mudah – mudahan keselamatan tetap untuk kami sekalian dan untuk para hamba Allah yang shalih-shalih, Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, , Ya Allah, Limpahilah rahmat kepada Nabi Muhammad, Ya Allah, Limpahilah rahmat atas keluarga Nabi Muhammad, Sebagaimana pernah Engkau beri rahmat kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya Dan limpahilah berkah atas Nabi Muhammad beserta para keluarganya, Sebagaimana Engkau memberi berkah kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya, Di seluruh alam semesta Engkaulah yang terpuji dan Maha Mulia”

Do'a Tahiyat Serta Arti/tejemahan secara perkata/kalimat :
At tahiyyaatul......(Segala kehormatan)
mubaarakaatush......(keberkahan)
shalawaatuth......(kebahagiaan)
thayyibaatulillaah......(dan kebaikan bagi Allah)
Assalaamu ‘alaika......(Segala keselamatan)
ayyuhan nabiyyu......(tetap untuk engkau, hani Nabi)
warahmatullaahi wabarakaatuh......(dan demikian juga rahmat Allah dan berkahNya)
Assalamu ‘alainaa......(Mudah – mudahan keselamatan tetap untuk kami sekalian)
wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shaalihiina......(dan untuk para hamba Allah yang shalih-shalih)
Asyhadu an laa ilaaha illallaah......(Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah)
wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullaah......(Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah)
Allaahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad......(Ya Allah, Limpahilah rahmat kepada Nabi Muhammad)
Wa ‘alaa aali sayyidinaa Muhammad......( Ya Allah, Limpahilah rahmat atas keluarga Nabi Muhammad)
Kamaa shallaita ‘alaa sayyidinaa Ibraahiim......(Sebagaimana pernah Engkau beri rahmat kepada Nabi Ibrahim)
wa ‘alaa aali sayyidinaa Ibraahim......(dan keluarganya[keluarga nabi ibrahim])
Wa baarik ‘alaa sayyidinaa Muhammad......(Dan limpahilah berkah atas Nabi Muhammad)
wa’alaa aali sayyidinaa Muhammad......(beserta para keluarganya[keluarga nabi muhammad.saw])
Kamaa baarakta ‘alaa sayyidinaa Ibraahiim......(Sebagaimana Engkau memberi berkah kepada Nabi Ibrahim)
wa ‘alaa aali sayyidinaa Ibraahiim......( dan keluarganya[keluarga nabi ibrahim])
Fil ‘aaalamiina......(Di seluruh alam semesta)
innaka hamiidum majiid......(Engkaulah yang terpuji dan Maha Mulia)

Do'a Salam :
Dari 'Alqomah bin Wa-il, dari bapaknya, ia berkata: Aku shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau membaca salam ke sebelah kanan (menoleh ke kanan): "As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh." Dan kesebelah kiri: "As Salamu'alaikum Wa Rahmatullahi." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud)

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Jumat, 08 Juli 2016

Sabar dan Memaafkan Kesalahan Itu Indah


nag)(Palu. Sebuah kisah perjalanan hidup Aisyah dan Rasulullah SAW. Kisah ini bisa kita ambil hikmah dan pelajaran di dalamnya.

Pada suatu waktu, Aisyah Istri Sholehah sedang bersantai dan duduk-duduk bersama suaminya. Pada saat itu juga Rasulullah SAW dikagetkan oleh kedatangan seorang Yahudi yang minta izin masuk ke rumahnya dengan ucapan Assamu'alaikum (kecelakaan bagimu) sebagai ganti ucapan Assalamu’alaikum kepada Rasulullah SAW.

Beberapa saat kemudian, datang lagi seorang Yahudi yang lain dengan perbuatan yang sama. Dia masuk dan mengucapkan Assamu'alaikum. Jelas sekali bahwa mereka datang dengan sengaja untuk mengganggu ketenangan Rasulullah. Menyaksikan pola tingkah mereka, Aisyah marah dan berteriak: Kalianlah yang celaka!

Rasulullah tidak menyukai reaksi keras istrinya. Beliau menegur, Hai ˜Aisyah, jangan kau ucapkan sesuatu yang keji. Seandainya Allah menampakkan gambaran yang keji secara nyata, niscaya dia akan berbentuk sesuatu yang paling buruk dan jahat. Berlemah lembut atas semua yang telah terjadi akan menghias dan memperindah perbuatan itu, dan atas segala sesuatu yang bakal terjadi akan menanamkan keindahannya. Kenapa engkau harus marah dan berang?”

“Ya Rasulullah, apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan secara keji sebagai pengganti dari ucapan salam?”

“Ya, aku telah mendengarnya. Aku pun telah menjawabnya wa’alaikum (juga atas kalian), dan itu sudah cukup.”

Manusia agung, Nabi Muhammad SAW ini lagi-lagi memberikan pelajaran yag sangat berharga kepada istrinya, yang tentu saja berlaku pula bagi segenap kaum muslimin dan muslimah. Betapa beliau telah menunjukkan suatu kepribadian yang amat matang dan sangat dewasa dalam menghadapi berbagai keadaan. Begitu kokoh pemahaman dirinya, sehingga tidak mudah terpancing amarahnya. Suatu pengendalian emosi yang luar biasa.

Sebagai istri, ‘Aisyah tentu tidak rela manakala suami tercintanya menerima ucapan keji dan busuk, sebagaimana yang diucapkan oleh orang Yahudi. Darahnya segera mendidih, dan tanpa kendali keluarlah dari kedua bibirnya kata-kata keji pula sebagai balasan atas mereka.

Apa yang dikatakan oleh ‘Aisyah sebenarnya dalam batas kewajaran. Ia tidak berlebihan dalam mengumpat dan mengata-katai mereka. Ia hanya membalas secara setimpal apa yang mereka ucapkan. Akan tetapi Rasulullah belum berkenan terhadap ucapan istrinya. Beliau ingin agar ‘Aisyah mengganti ucapannya dengan satu kata yang lugas tapi tetap sopan. Rasulullah berkata, Wa’alaikum, itu sudah cukup.’

Urusan salam ini nampaknya sederhana, tapi dalam Islam mendapatkan porsi perhatian yang cukup besar. Salam merupakan pembuka kata dalam setiap perjumpaan, baik perjumpaan di udara maupun di darat (tatap muka). Salam bahkan menunjukkan kepribadian seseorang.

Orang yang secara tiba-tiba berkata-kata tanpa didahului oleh salam bisa dianggap kurang etis atau tidak sopan. Apalagi jika akan memasuki rumah orang. Bahkan nada suara, ekspresi wajah, dan gaya penampilan ketika mengucapkan salam menjadi perhatian yang sangat besar.

Lebih dari itu, orang bisa langsung mengetahui identitas agama seseorang dari salamnya. Jika ada penyiar televisi atau narasumber yang diwawancarai mengucapkan Assalamualaikum, segera kita ketahui bahwa orang tersebut beragama Islam. Demikian juga bila menggunakan salam yang lain.

Masalahnya kemudian, bagaimana jika Assalamu’alaikum sudah menjadi tradisi nasional, sehingga warga non-muslim juga mengucapkan hal yang sama? Banyak di antara kita yang kelagapan menerima ucapan Assalamu’alaikum dari kawan atau kenalan yang nyata-nyata bukan muslim. Ada yang menjawab dengan wa’alaikum salam, tapi ada yang justru tidak menjawab sama sekali.

Urusan salam ternyata telah diajarkan oleh Islam sangat rinci sekali. Termasuk jika kita mendapatkan ucapan Assalamu’alaikum dari orang non-muslim. Dalam hal ini kita cukup menjawab mereka dengan ucapan: wa’alaikum. Kenapa demikian?

Ada dua alasan. Yang pertama, menjaga hubungan baik dan kesopanan. Dengan ucapan waalaikum mereka merasa mendapatkan respon baik dari kita. Mereka tidak merasa diacuhkan. Sebaliknya mereka merasa dihormati dan diterima.

Alasan kedua, dengan hanya menjawab wa’alaikum, maka berarti kita tidak mendoakan kepada mereka. Sebab doa seorang muslim kepada non-muslim itu tidak diterima. Kecuali mendoakan agar mereka mengikuti jalan kebenaran, yaitu Islam. Dengan Islam mudah-mudahan mereka selamat di dunia dan di akhirat.

Nabi Ibrahim adalah seorang anak yang sangat mencintai dan menghormati ayahnya. Itulah sebabnya ia berdoa agar Allah menyelamatkan bapaknya. Akan tetapi perbuatan Ibrahim itu mendapat teguran dari Allah, karena bapaknya masih musyrik, menyembah berhala.

Demikian juga Nabi Muhammad saw, beliau sangat mencintai Abu Thalib, pamannya. Lewat perlindungan pamannya inilah jiwanya selamat dan misinya berhasil. Tapi karena sampai akhir hayatnya Abu Thalib belum juga menyatakan beriman kepada Allah, maka Muhammad saw terhalang mendoakannya.

Inilah adat kesopanan yang diajarkan Islam. Kepada orang yang tidak seagama, kita tetap harus berbuat baik. Apalagi jika orang tersebut telah berjasa kepada kita. Kepada orang tua yang non-muslim misalnya, kita harus berbuat baik. Termasuk jika mereka memerintahkan berbuat maksiat, kita harus tetap berbuat baik kepada mereka, walaupun perintahnya tidak kita jalankan.

Demikian juga kepada orang yang jelas-jelas menunjukkan permusuhannya, kita tidak boleh terpancing berbuat keji dan kotor. Sebisa mungkin kita mengendalikan diri. Jika kita berniat membalasnya, maka balasan itu hendaknya setimpal, tidak boleh berlebihan. Pilihlah kata-kata yang tegas, lugas, tapi tetap sopan.

Dalam ajaran Islam membalas itu tidak terlarang, akan tetapi memaafkan itu lebih baik. Jika benar-benar kita ingin membalas, balasan itu hendaknya tidak lebih dari yang ia terima. Berlebih-lebihan dalam pembalasan merupakan tindak kezhaliman.

Allah SWT berfirman:

“Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishas. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia seimbang dengan serangan terhadapmu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah: 194)

Tidak seperti agama lain yang mengajarkan bahwa bila pipi kananmu dipukul berikan pipi kirimu. Bila jubahmu diminta berikan bajumu. Ajaran ini justru tidak manusiawi, sebab sangat memberatkan mereka yang dizhalimi. Islam mengajarkan agar seseorang bisa memberi balasan setimpal dengan apa yang telah diterimanya. Meskipun demikian, memaafkan itu jauh lebih baik.

Seperti dalam kasus Aisyah di atas, jelas bahwa Aisyah sangat bisa membalas ucapan keji orang Yahudi. Apalagi saat itu Rasulullah bukan saja sebagai pemimpin ruhani, tapi sekaligus merupakan kepala negara yang berkuasa. Apa susahnya membalas orang yang menghinanya, sedang menjebloskan mereka ke tahanan saja itu merupakan haknya. Tapi Rasulullah sebagai manusia agung memilih untuk memberi balasan yang secukupnya.

Keperkasaan seseorang tidak bisa diukur dari kekuatan fisiknya. Orang yang jantan, bukan mereka yang ahli bertinju, bukan mereka yang di setiap pertandingan tak terkalahkan. Menurut determinasi Islam orang yang kuat adalah mereka yang dikala marah bisa menahan dirinya. Rasulullah bersabda, “Bukan dikatakan pemberani karena seseorang cepat meluapkan amarahnya. Seorang pemberani adalah mereka yang dapat menguasai diri (nafsu)-nya sewaktu marah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Menahan marah bukan pekerjaan mudah. Menuntut perjuangan yang amat berat lagi susah, apalagi bagi mereka yang sedang mempunyai kemampuan dan kekuasaan untuk meluapkan kemarahannya. Akan tetapi justru di sinilah seseorang itu dinilai, apakah layak disebut ksatria atau tidak. Seorang ksatria adalah yang mampu menahan marahnya, akan tetapi jika kezhaliman itu sudah melampaui batas, ia mampu membalasnya, setimpal dengan perlakuan orang tersebut. Orang yang seperti ini akan mendapat jaminan dari Allah berupa kecintaan yang mendalam.

Rasulullah bersabda:

“Ada tiga hal yang jika dimiliki seseorang, ia akan mendapatkan pemeliharaan dari Allah, akan dipenuhi dengan rahmat-Nya, dan Allah akan senantiasa memasukkannya dalam lingkungan hamba yang mendapatkan cinta-Nya, yaitu (1) seseorang yang selalu bersyukur manakala mendapat nikmat dari-Nya, (2) seseorang yang mampu meluapkan amarahnya tetapi mampu memberi maaf atas kesalahan orang, (3) seseorang yang apabila sedang marah, dia menghentikan marahnya.”
(HR. Hakim).

Dalam menghadapi situasi yang cenderung memancing emosi, manusia dapat dibedakan dalam tiga tipe. Pertama, orang yang tidak merasa marah padahal penyebabnya ada. Kedua, orang yang merasa marah tetapi mampu menahan amarahnya dan mau memaafkan. Sedang ketiga, mereka yang merasa marah, mampu menahan marah, tapi tidak bisa memaafkannya.

Dari ketiga kategori ini tentu saja golongan pertama yang lebih utama. Mereka disebut telah memiliki hilm, sifat sabar yang sangat besar. Sabar di atas sabar. Sifat ini telah dimiliki Rasulullah saw, dan telah dibuktikan dalam berbagai peristiwa.

Tentang sifat hilm ini Rasulullah bersabda, “Maukah aku ceritakan kepadamu tentang sesuatu yang menyebabkan Allah memuliakan bangunan dan meninggikan derajatmu? Para sahabat menjawab, tentu. Rasul bersabda, Kamu bersikap sabar (hilm) kepada orang yang membencimu, memaafkan orang yang berbuat zhalim kepadamu, memberi kepada orang yang memusuhimu, dan menghubungi orang yang telah memutuskan silaturrahim denganmu.”
(HR. Thabrani).


Baca Juga :

IDENTITAS MUSLIM MENJAGA SHALAT



naG)(Palu. Identitas muslim tidak terlepas dari amaliyah ibadah shalat, karena shalat merupakan ciri yang membedakan antara pribadi muslim dengan orang kafir.

Orang muslim yang Islamnya benar, pasti melakukan ibadah shalat penuh dengan kesungguhan dan kekhusyu’an seraya berjamaah.

Sedangkan bagi mereka yang Islamnya hanya pengakuan saja, shalat hanya sekedar lambang atau keinginan untuk mendapatkan pengakuan. Padahal, shalat bukanlah sekumpulan gerakan dan bacaan yang kosong dari makna dan tujuan, tetapi ia adalah ibadah yang mengandung arti yang dalam dan berisi pelajaran yang berharga.



Shalat adalah kunci diterima atau tidaknya semua amal manusia. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Amal yang pertama kali dihisab dari amalan seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya, maka jika shalatnya baik, berbahagialah dia, dan jika shalatnya rusak, rugilah dia dan sia-sialah usahanya.”
(HR. Thabrani)


Imam Ahmad dalam sebuah nasihat kepada putranya Abdullah pernah berkata; “Hai anakku, Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam telah menegaskan: “Tidak ada keberuntungan sama sekali dalam Islam untuk orang yang meninggalkan shalat.”


Lebih lanjut Iman Ahmad berkata, Umar bin Khaththab pernah mengirim surat peringatan kepada semua wali negeri (gubernur), di dalamnya beliau berkata: “Hai para wali, sesungguhnya tugas yang aku pandang paling penting adalah shalat. Maka barangsiapa memelihara shalat, niscaya dia telah memelihara agamanya.

Orang yang menyia-nyiakan shalat, maka ibadah lainnya pasti lebih dia sia-siakan. Tidak ada bagian apa-apa dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” Karena itu, hai Abdullah, orang yang menyia-nyiakan shalat dan meremehkannya berarti ia menyia-nyiakan dan meremehkan Islam. Keberuntungan seorang hamba dalam Islam adalah menurut keberuntungan yang ia peroleh dalam shalat, kesenangan mereka kepada Islam, adalah menurut kesenangannya kepada shalat.”


Ingatlah akan dirimu hai Abdullah dan waspadalah, jangan sampai kamu menjumpai Allah dalam keadaan tidak menghargai Islam. Kadar penghargaan yang diberikan seseorang kepada Islam adalah sekedar harga shalat dalam jiwanya.”


Nasihat Imam Ahmad kepada anaknya di atas hakekatnya ditujukan kepada umat Islam umumnya. Bagaimana selaku orang beriman tidak menyia-nyiakan ibadah shalat yang juga sebagai ciri—rukun Islam—dari keberadaan kita sebagai muslim. Peringatan itu juga menunjukan begitu tingginya kedudukan shalat dalam syariat Islam, oleh karenanya tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk tidak melaksanakan dan menjaganya dengan baik.


Di antara menjaga shalat yang baik adalah melaksanakannya secara khusyu’ dan berjama’ah.


Shalat yang Khusyu’


Menurut kebanyakan ulama yang dimaksud dengan khusyu’ adalah, “Menundukkan menenangkan hati serta anggota badan kepada Allah Suhanahu Wa Ta’ala.”


Jadi, shalat seseorang dapat dikatakan khusyu’ manakala selama shalat tersebut hati dan pikirannya senantiasa tertuju kepada Allah Ta’ala. Rasulullah Shalalahu Alaihi Wasallam bersabda: “Bahwasanya seorang hamba sungguh mengerjakan shalat, padahal tidak ditulis baginya kecuali setengahnya, sepertiganya, seperempatnya, seperlimanya sampai sepersepuluhnya. Sesungguhnya yang ditulis untuk seseorang dari shalatnya hanyalah sekedar yang dapat ia pahami dari padanya.”
(HR. Ahmad dan Abu Daud dari Amar bin Yasir)


Adapun cara untuk mengkhusyu’kan shalat antara lain; Ihsan, yaitu merasa diawasi Allah yang Maha Kuasa. Memahami makna bacaan Qur’an dan dzikir-dzikir yang dibaca dan menghayati kandungannya. Memanjangkan ruku’ dan sujudnya. Muhammad Al-Bahry berkata, “Di antara pekerjaan yang menghasilkan khusyu’ adalah memanjangkan ruku’ dan sujudnya.”


Jangan memain-mainkan anggota badan. Hendaknya memandang ketempat sujud walaupun bermata buta atau shalat di samping Ka’bah. Berupaya menjauhkan diri dari segala hal yang membimbangkan hati. Karena itu jangan shalat di atas tikar atau sajadah yang bergambar dan jangan shalat sambil menahan buang air besar atau kecil.


Dengan upaya-upaya di atas, diharapkan shalat yang dilaksanakan lebih mendekatkan kepada kekusyu’an dalam shalat. Sehingga ibadah shalat yang dikerjakan minimal lima kali dalam sehari ini tidak menjadikan kita orang-orang merugi.


Shalat Berjamaah


Begitu tinggi nilai yang Allah berikan kepada orang mukmin yang shalat dengan berjamaah, sehingga Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam pun bersabda: “Shalat berjama’ah itu lebih utama dari pada shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat.”
(HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra.)


Tak heran jika Islam sangat menuntut agar muslimin melaksanakan shalat bejamaah di setiap masjid. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”
(QS. Al-Baqarah: 34)


Menurut catatan kaki “Al-Qur’an dan terjemahnya” Departemen Agama RI, yang dimaksud dengan kalimat “ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ adalah shalat berjamaah.


Pada ayat lain Allah berfirman, “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kecuali kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk orang yang mendapat petunjuk.”
(QS. At-taubah: 18)


Dari kedua firman Allah di atas, bisa disimpulkan shalat berjama’ah itu wajib bagi setiap mukmin laki-laki, tidak ada keringanan untuk meninggalkannya kecuali ada udzur (yang dibenarkan dalam agama).

Hadis-hadis yang merupakan dalil tentang hukum ini sangat banyak, di antaranya:

Hadis shahih dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, “Telah datang kepada Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam seorang lelaki buta, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak punya orang yang bisa menuntunku ke masjid, lalu dia mohon kepada Rasulullah agar diberi keringanan dan cukup shalat di rumahnya.’
Maka Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Ketika dia berpaling untuk pulang, beliau (Rasulullah) memanggilnya, seraya berkata, ‘Apakah engkau mendengar suara adzan (panggilan) shalat?’, ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Maka hendaklah kau penuhi (panggilah itu)’”.
(HR. Muslim)


Rasulullah bersabda: “Barangsiapa pergi ke masjid baik pagi atau sore hari, maka Allah akan menyediakan satu tempat tingal di surga setiap kali dia pergi.”
(Muttafaq Alaih)


Ibnu Mas’ud berkata: “Barangsiapa ingin berjumpa dengan Allah sebagai seorang muslim, hendaklah benar-benar menjaga shalat pada waktunya ketika mendengar suara adzan. Sesungguhnya Allah telah menganjurkan kepada Nabimu langkah-langkah untuk mendapatkan kebaikan yaitu, shalat berjama’ah di masjid yang diserukan adzan di dalamnya. Seandainya kamu shalat di rumahmu…maka berarti kamu telah meninggalkan sunnah Nabimu. Jika kamu meninggalkan sunnah Nabimu, maka sesatlah kamu.”


Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Barangsiapa dari tetangga masjid mendengar seruan adzan lalu dia tidak memenuhinya sedang dia dalam keadaan sehat, tidak ada udzur (halangan), maka tidak ada shalat baginya.”

Diriwayatkan, suatu saat Khalifah Umar bin Khathab mendapati beberapa kelompok yang tidak shalat berjamaah. Maka beliau bertanya: “Apa sebabnya orang-orang itu tidak datang? Hendaknya mereka datang ke masjid atau saya kirimkan kepada mereka orang-orang yang akan menebas batang leher mereka.” Kemudian Umar berseru dengan suara yang lantang, “Datanglah ke shalat jamaah, datanglah ke shalat jamaah, datanglah ke shalat jamaah!”


Ibnu Abas berkata: “Barangsiapa mendengar seseorang yang adzan, dan tidak memenuhinya, maka jelas orang itu tidak dikehendaki Allah menjadi orang baik dan tidak pula menghendaki adanya kebaikan untuk dirinya.”


Demikianlah firman Allah, hadis Nabi dan komentar para tokoh sahabat tentang pentingnya shalat berjamaah di masjid. Sedangkan ulama sesudah mereka, khususnya para imam-imam madzhab walaupun berbeda pendapat dalam menentukan hukumnya, namun mereka bersepakat meninggalkan shalat berjamaah tanpa ada udzur adalah perbuatan yang sangat tercela. Para ulama madzhab Hanafi dan Maliki bahkan menetapkan bahwa meninggalkan shalat berjamaah adalah berdosa, walaupun mereka menghukuminya sebagai sunnah muakkad.


Adapun udzur yang di bolehkan untuk meniggalkan shalat berjamaah ialah: sakit atau bepergian. Mengerjakan hal yang sangat perlu, misalnya sangat lapar, perlu makan dahulu. Takut kehilangan harta, atau takut terhadap suatu gangguan, atau sedang sangat mengantuk. Takut akan gangguan hujan, Lumpur, banjir, angin topan, dan keadaan sangat gelap gulita.


Bila kita renungkan uraian di atas, ternyata shalat berjamaah harus dilaksanakan di masjid, yang suara adzan sampai pada rumahnya, kecuali jika ada udzur yang dibolehkan, maka barulah dilaksanakan di rumah, namun tidak bagi kaum muslimat. Bagi mereka, shalat di rumah lebih utama daripada shalat di masjid. Ini berdasarkan larangan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam kepada suami atau wali agar tidak menghalangi kaum muslimat mengikuti shalat berjamaah di masjid.


Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu menghalangi para wanita keluar ke masjid, sedang rumah-rumah mereka lebih baik baginya.”
(HR. Abu Daud dari Ibnu Umar)


Dalam hadis lain “Jangan kamu menghalangi hamba-hamba Allah (para wanita) pergi ke masjid Allah. Dan hendaklah mereka keluar ke masjid dengan tanpa wewangian.”
(HR. Abi Daud dari Abu Hurairah)


Terkait hal di atas, Prof. Dr. Hasbi Ash Shiddiqy setelah mengedepankan hadis-hadis tentang larangan “mencegah kaum wanita pergi ke masjid” dan hadis yang menerangkan “kaum wanita lebih utama shalat di masjid” berkomentar sebagai berikut;


“Apabila hadits-hadits dalam masalah ini dikumpulkan semuanya dan di artikan satu per satu condong kepada pendapat Ibnu Harun, yakni: ‘Bukanlah yang lebih utama bagi wanita shalat di rumahnya melainkan lebih utama bagi mereka shalat dengan berjamaah di masjid (dekat rumahnya).

Hadits yang menerangkan bahwa para wanita lebih baik shalat di rumahnya, tak ada yang terlepas catatan atau dipermasalahkan keshahihannya. Andaikata kita pandang shahih, maka dia berlawanan dengan hadis yang nyata-nyata keshahihannya dan perintah nabi sendiri supaya wanita pergi ke tanah lapang pada hari Ied.

Sekiranya para wanita lebih baik shalat di rumah, tentulah para wanita sahabat tidak bersusah payah keluar di malam hari dan di waktu pagi hari untuk shalat berjamaah bersama Nabi di masjid. Seluruh ahli ilmu menetapkan bahwa Nabi tidak pernah melarang para wanita menghadiri shalat berjamaah di masjid. Juga para Khulafaur Rasyyidin tidak pernah mengeluarkan larangan untuk itu.

Jika demikian, nyatalah bahwa perginya para wanita ke masjid adalah suatu “amalul ghoiri” suatu amal kebajikan dan kebaikan. Jika tidak, tentulah Nabi tidak akan membiarkan para wanita pergi ke masjid.”

Baca Juga :

JANGAN MENGHARAP “TERIMA KASIH” DARI SESEORANG



Jika Teman Baik Kita Tidak Balas Budi.


naG)(Palu. Allah menciptakan para setiap hamba agar selalu mengingat-Nya, dan Dia menganugerahkan rezeki kepada setiap makhluk ciptaan_Nya agar mereka bersyukur kepada-Nya. Namun, mereka justru banyak yang menyembah dan bersyukur kepada selain Dia.

Tabiat untuk mengingkari, membangkang, dan meremehkan suatu kenikmatan adalah penyakit yang umum menimpa jiwa manusa. Karena itu, Anda tak perlu heran dan resah bila mendapatkan mereka mengingkari kebaikan yang pernah Anda berikan, mencampakkan budi baik yang telah Anda tunjukkan. Lupakan saja bakti yang telah Anda persembahkan. Bahkan, tak usah resah bila mereka sampai memusuhi Anda dengan sangat keji dan membenci Anda sampai mendarah daging, sebab semua itu mereka lakukan adalah justru karena Anda telah berbuat baik kepada mereka.

{Dan, mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya) kecuali Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka.} (QS. At-taubah:74)

Coba Anda buka kembali catatan dunia tentang perjalanan hidup ini! Dalam salah satu babnya diceritakan: shajdan, seorang ayah telah memelihara anaknya dengan baik. Ia memberinya makan, pakaian dan minuman, pendidikannya hingga menjadi orang pandai, rela tidak tidur demi anaknya, rela untuk tidak makan asal anaknya kenyang, dan bahkan, mau bersusah payah agar anaknya bahagia. Namun apa lacur, ketika sudah berkumis lebat dan kuat tulang-tulangnya, anak itu bagaikan anjing galak yang selalu menggonggong kepada orang tuanya. Ia tak hanya berani menghina, tetapi juga melecehkan, acuh tak acuh, congkak, dan durhaka terhadap orang tuanya. Dan semua itu, ia tunjukkan dengan perkataan dan juga tindakan.

Karena itu, siapa saja yang kebaikannya diabaikan dan dilecehkan oleh orang-orang yang menyalahi fitrah, sudah seyogyanya menghadapi semua itu dengan kepala dingin. Dan, ketenangan seperti itu akan mendapatkan balasan pahala dari Dzat Yang perbendaharaan-Nya tidak pernah habis dan sirna.

Ajakan ini bukan untuk menyuruh Anda meninggalkan kebaikan yang telah Anda lakukan selama ini, atau agar Anda sama sekali tidak berbuat baik kepada orang lain. Ajakan ini hanya ingin agar Anda tak goyah dan terpengaruh sedikitnya oleh kekejian dan pengingkaran mereka atas semua kebaikan yang telah Anda perbuat. Dan janganlah Anda pernah bersedih dengan apa saja yang mereka perbuat.

Berbuatlah kebaikan hanya demi Allah semata, maka Anda akan menguasai keadaan, tak akan pernah terusik oleh kebencian mereka, dan tidak pernah merasa terancam oleh perlakuan keji mereka. Anda harus bersyukur kepada Allah karena dapat berbuat baik ketika orang-orang di sekitar Anda berbuat jahat. Dan, ketahuilah bahwa tangan di atas itu lebih baik dari tangan yang di bawah.


{Sesunggunya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengarapkan keridhaan Allah. Kami tidak mengharapkan balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.}
(QS. Al-Insan :9)

Masih banyak orang berakal yang sering hilang kendali dan menjadi kacau pikirannya saat mengadapi kritikan atau cercaan pedas dari orang-orang sekitarnya. Terkesan, mereka seolah-olah belum pernah mendengar wahyu Illahi yang menjelaskan dengan gamblang tentang perilaku golongan manusia yang selalu mengingkari Allah. Dalam wahyu itu dikatakan :

{Tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitu orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.} (QS. Yunus:12)

Anda tak pernah terkejut menakala menghadiahkan sebatang pena kepada orang bebal, lalu ia memakai pena itu untuk menulis cemoohan kepada Anda. Dan Anda tak usah kaget, bila orang yang Anda beri tongkat untuk mengiringi domba gembalaannya justru memukulkan tongkat itu ke kepala Anda. Itu semua adalah watak dasar manusia yang selalu mengingkari dan tak pernah bersyukur kepada Penciptanya sendiri Yang Maha Agung nan Mulia. Begitulah, kepada Tuhannya saja mereka berani membangkang dan mengingkari, maka apalagi kepada saya dan Anda.


Sumber : La Tahzan

Baca Juga :

Cara Melebatkan Rambut secara Alami
Manfaat Buah Pisang yang wajib Anda ketahui
Cara Alami Menghilangkan Bekas Luka
Jangan Menghalangi Muslimah Menikah dengan Pilihannya

Minggu, 03 Juli 2016

Wanita yang Berpakaian Tapi Telanjang, Sadarlah!

http://adf.ly/2355646/taksampai.blogspot.com


Saat ini sangat berbeda dengan beberapa tahun silam. Sekarang para wanita sudah banyak yang mulai membuka aurat. Bukan hanya kepala yang dibuka atau telapak kaki, yang di mana kedua bagian ini wajib ditutupi. Namun, sekarang ini sudah banyak yang berani membuka paha dengan memakai celana atau rok setinggi betis. Ya Allah, kepada Engkaulah kami mengadu, melihat kondisi zaman yang semakin rusak ini. Kami tidak tahu beberapa tahun mendatang, mungkin kondisinya akan semakin parah dan lebih parah dari saat ini. Mungkin beberapa tahun lagi, berpakaian ala barat yang transparan dan sangat memamerkan aurat akan menjadi budaya kaum muslimin. Semoga Allah melindungi keluarga kita dan generasi kaum muslimin dari musibah ini.

Tanda Benarnya Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا


“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)

Hadits ini merupakan tanda mukjizat kenabian. Kedua golongan ini sudah ada di zaman kita saat ini. Hadits ini sangat mencela dua golongan semacam ini. Kerusakan seperti ini tidak muncul di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sucinya zaman beliau, namun kerusakan ini baru terjadi setelah masa beliau hidup (Lihat Syarh Muslim, 9/240 dan Faidul Qodir, 4/275). Wahai Rabbku. Dan zaman ini lebih nyata lagi terjadi dan kerusakannya lebih parah.
Saudariku, pahamilah makna ‘kasiyatun ‘ariyatun

An Nawawi dalam Syarh Muslim ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa ada beberapa makna kasiyatun ‘ariyatun.

Makna pertama: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya.

Makna kedua: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan kebaikan dan tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan kepada Allah.

Makna ketiga: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.

Makna keempat: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)

Pengertian yang disampaikan An Nawawi di atas, ada yang bermakna konkrit dan ada yang bermakna maknawi (abstrak). Begitu pula dijelaskan oleh ulama lainnya sebagai berikut.
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Muslimah, 125-126)

Al Munawi dalam Faidul Qodir mengatakan mengenai makna kasiyatun ‘ariyatun, “Senyatanya memang wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya dia telanjang. Karena wanita tersebut mengenakan pakaian yang tipis sehingga dapat menampakkan kulitnya. Makna lainnya adalah dia menampakkan perhiasannya, namun tidak mau mengenakan pakaian takwa. Makna lainnya adalah dia mendapatkan nikmat, namun enggan untuk bersyukur pada Allah. Makna lainnya lagi adalah dia berpakaian, namun kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya lagi adalah dia menutup sebagian badannya, namun dia membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutupi) untuk menampakkan keindahan dirinya.” (Faidul Qodir, 4/275)

Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnul Jauziy. Beliau mengatakan bahwa makna kasiyatun ‘ariyatun ada tiga makna.


Pertama: wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita seperti ini memang memakai jilbab, namun sebenarnya dia telanjang.


Kedua: wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutup). Wanita ini sebenarnya telanjang.


Ketiga: wanita yang mendapatkan nikmat Allah, namun kosong dari syukur kepada-Nya. (Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, 1/1031)


Kesimpulannya adalah kasiyatun ‘ariyat dapat kita maknakan: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya dan wanita yang membuka sebagian aurat yang wajib dia tutup.
Tidakkah Engkau Takut dengan Ancaman Ini

Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memakaian pakaian tetapi sebenarnya telanjang, dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”
Perhatikanlah saudariku, ancaman ini bukanlah ancaman biasa. Perkara ini bukan perkara sepele. Dosanya bukan hanya dosa kecil. Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Wanita seperti ini dikatakan tidak akan masuk surga dan bau surga saja tidak akan dicium. Tidakkah kita takut dengan ancaman seperti ini?

An Nawawi rahimahullah menjelaskan maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘wanita tersebut tidak akan masuk surga’. Inti dari penjelasan beliau rahimahullah:
Jika wanita tersebut menghalalkan perbuatan ini yang sebenarnya haram dan dia pun sudah mengetahui keharaman hal ini, namun masih menganggap halal untuk membuka anggota tubuhnya yang wajib ditutup (atau menghalalkan memakai pakaian yang tipis), maka wanita seperti ini kafir, kekal dalam neraka dan dia tidak akan masuk surga selamanya.
Dapat kita maknakan juga bahwa wanita seperti ini tidak akan masuk surga untuk pertama kalinya. Jika memang dia ahlu tauhid, dia nantinya juga akan masuk surga. Wallahu Ta’ala a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)

Jika ancaman ini telah jelas, lalu kenapa sebagian wanita masih membuka auratnya di khalayak ramai dengan memakai rok hanya setinggi betis? Kenapa mereka begitu senangnya memamerkan paha di depan orang lain? Kenapa mereka masih senang memperlihatkan rambut yang wajib ditutupi? Kenapa mereka masih menampakkan telapak kaki yang juga harus ditutupi? Kenapa pula masih memperlihatkan leher?!

Sadarlah, wahai saudariku! Bangkitlah dari kemalasanmu! Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Mulailah dari sekarang untuk merubah diri menjadi yang lebih baik ….

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal





Baca Juga :